Laman

Kamis, 20 November 2014

Cerpenku



Sri, Anak Pintar!
                                                                                                                    Karya : Lita Jumara, S.Pd.


“Sudah terasa tua bumi kita ini mbah. Panas pun sepertinya tak menghiraukan kita lagi. Banyak pemimpin kita ini mencanangkan gerakan anti pemanasan global. Toh buktinya bumi kita semakin panas.” Ujar Kasman yang sedang minum kopi dan makan gorengan di warung mbah Kasmo.
“Iya Man, aku sudah merasakannya sudah 65 tahun lamanya. Tapi di tahun ini benar-benar panas tenan. Alah pemerintah di percoyo wis ora usah dipercoyo bahasane. Banyak yang umbar janji. Zaman ini memang sudah tua, mau kita benah apapun tidak akan bisa kembali kesemula.” Sahut Mbah Kasmo dengan logak Jawanya yang kental sambil menuangkan air di termos kedalam gelas yang sudah terisi kopi bubuk.
Tiba-tiba datang Sri dari pasar menghampiri obrolan mereka berdua. “Waduh, ko rame tenan yo, ada apa toh mbah? Ko serius banget obrolannya dengan mas Kasman.” Sahut Sri yang sambil masuk dan membawa belanjanya kedalam warung.
“Eh, Dek Sri baru pulang dari pasar, yo! Ndak dek, mas karo mbah mu iki, lagi bahas cuaca hari ini panas banget.” Ujar Kasman sambil tersenyum.
“Iya, Sri, mbah sudah tua untuk merasakan panasnya cuaca ini.” Sahut Mbah Kasmo
“Loh, mbah cuaca seperti ini memang sudah ditakdirkan Allah. Kita yang sebagai umatnya mesti jaga bumi kita ojo di rusak. Misale, iki si mbah jangan buang plastik bekas di sembarang tempat, kita harus menguburnya dan mas Kasman jangan tebang pohon sembarangan Sri sering lihat mas di hutan dekat lereng gunung tebang pohon sampai-sampai gak dipilih dulu pohon yang sudah tua dan yang masih muda.” Ujar Sri sambil menasehati.
Kasman dan Mbah Kasmo pun jadi tersipu malu akibat di bicarakan seperti itu oleh Sri. “Jangan gitu dong Dek Sri, mas kan jadi malu. Toh buktinya mas ndak merusak hutan secara berlebihan.” Sanggah Kasman sambil malu-malu.
“Ya memang gak berlebihan tapi ada akibatnya di kemudian hari, contohnya longsor, banjir dan sekarang panas.” Ujar Sri sambil memotong sayuran yang dia beli dipasar.
“Sudah-sudah jangan ribut, benar katamu Sri, bumi ini panas gara-gara kita juga. Kita memang harus menjaganya agar tidak semakin parah lagi.” Ujar Mbah Kasmo yang melerai.
Dimalam harinya Sri dan mbah Kasmo menemui Kepala Desa untuk membahas pesta rakyat yang seminggu lagi  akan terlaksanakan. Di Kantor Desa sudah banyak kumpul warga yang menunggu kesepakatan dari warga yang lainnya. “ Bagaimana bapak-bapak dan ibu-ibu setuju dengan usulan saya pesta rakyat ini akan dilakukan 3 hari 3 malam mengingat kita sudah panen dengan hasil yang memuaskan?” Tanya pak Yoto terhadap warganya. Ketika sedang menyampaikan pendapatnya. Tiba-tiba pak Karto menyela pembicaraan Pak Kades Yoto.
“Maaf pak, saya intrupsi. Saya kurang setuju jika pesta rakyat ini dilakukan selama itu,dan itu hanya membuang uang-uang saja. Bagaimana kita lakukan pesta rakyat itu dengan pengajian untuk ucap syukur kita terhadap Gusti Allah.” Ujar pak Karto sambil berdiri
“Saya setuju dengan ucapan pak Karto, di bumi kita yang semakin tua ini dan banyak bencana di wilayah-wilayah di Indonesia kita harusnya mensyukurinya dengan mengadakan pengajian, toh selama ini surau kita terlihat sepi warganya pun masih kurang tanggap untuk mengisi Surau kita dengan kegiatan yang religi.” Tambah Sri dengan tegas.
“Alah kamu itu masih kecil Sri, gak usah ikut campur dengan pembicaraan ini” Ujar Pak Parmin dengan tegas.
“Walaupun Sri masih remaja, pak. Tapi Sri juga masih warga desa ini dan berhak memberikan pendapat untuk kelangsungan desa ini. Apakah yang muda tidak boleh memberikan pendapatnya? Sedangkan yang sudah tua tidak bisa menjadi contoh yang baik bagi yang muda.” Ujar Sri dengan lantang
Pembicaraan pun semakin panas, Pak Kades pun meleraikan obrolan mereka.
“Sudah-sudah tidak usah ribut lebih baik kita ambil voting dari warga semuanya. Sehingga kita dapat menemukan jalan yang baik untuk kelangsungan acara minggu depan.” Sahut Pak Yoto yang meleraikan mereka berdua.
Warga pun tercengang atas ucapan Sri yang mungkin mengetuk pintu hati mereka yang hanya mementingkan duniawi saja. Namun amalan untuk ke akhirat nanti tidak diperdulikan. Akhirnya kesepakatan itu pun ditemukan titik terangnya. Banyak warga yang setuju atas pendapat pak Karto dan Sri. Sri pun senang pendapatnya didengar oleh warga yang lain. Sesampainya di Rumah, Mbah Kasmo menegur Sri atas pendapatnya ketika diKantor Desa tadi.
“Sri, kamu itu gak usah berbicara seperti itu terhadap yang tua. Itu tindakan yang tidak baik ndok.” Ujar mbah Kasmo.
“Bukanya gitu mbah, Sri itu hanya menyampaikan pendapat Sri dan Sri sering lihat berita di televisi banyak di daerah-daerah yang kekurangan maupun terkena bencana. Sedangkan di Desa kita sudah Alhamdulillah mendapatkan banyak limpahan panen. Jadi kita harus bersyukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah.” Sahut Sri.
Mbah Kasmo pun terdiam untuk sejenak dan berpikir betapa dia sangat beruntung mendapatkan cucu seperti Sri.
“Mbah, mbah kenapa toh?” Tanya Sri sambil mengusap pundak Mbah Kasmo.
Ndak …ndak apa-apa kok. Sudah mbah masuk dulu ke kamar wis ngantuk aku.” Sahut mbah Kasmo.
Keesokan pagi nya di sekolah. Sri menjadi bahan pembicaraannya teman-temannya di sekolah. Sri seorang siswi kelas tiga di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri dan ia siswi terpintar di Sekolahnya karena telah menciptakan karya-karya inovatif yang berhubungan dengan pertanian. Di sekolahnya siswi terkenal pandai berdiskusi dengan guru sehingga Sri mendapatkan beasiswa dari sekolahnya.
“Sri, semalam kata Dewi kamu katanya debat dengan ayahnya ya!” Tanya Mulyasi yang datang menghampiri bangku duduk Sri.
“Iya, tapi gak debat kok, cuma saja aku hanya mengutarakan pendapatku. Apa lagi di Desaku akan ada pesta rakyat, jadi untuk itu buat apa kita menghamburkan uang banyak toh lebih baik kita mengadakan pengajian di surau dan uangnya bisa mereka tabung untuk kedepannya.” Sahut Sri.
“Hebat kamu Sri, masih muda tapi pintar memberikan pendapat dan menjalankanya di kehidupan nyata seperti ini. Bangga aku sama mu.” Ujar Mulyasi yang membanggakan Sri.
“Bisa saja kamu ini, oh ya Sih, besok antarkan aku ke kota yo!” Pinta Sri.
“Ke kota? Memangnya mau ngapain kita kesana, Sri?” Tanya Mulyasi.
“Aku mau cari bahan pupuk untuk sawah ku dan aku mau mencoba mencari bahan agar padi-padi itu tumbuh dengan subur dan menghasilkan banyak bibit.” Jawab Sri.
“Pintar banget kamu, Sri. Iyo pasti ku anter sampean.”Ujar Mulyasi.
Dikota pun Sri menemukan banyak bahan pupuk untuk sawahnya. Tidak sengaja Sri, menabrak laki-laki kota yang sedang membayar belanjaanya.
“Aduh mas, aku minta maaf ya! Benar aku tidak sengaja!” Pinta Sri
“Oh iya tidak apa-apa, perkenalkan namaku Putra Mahesa. Nama mu siapa?” Tanya Putra sambil mengulurkan tangannya ke Sri.
“Namaku Sri Yanti mas dan temanku ini Mulyasi.” Jawab Sri dan menerima jabatan tangan Putra.
“Namaku Mulyasi mas.” Sahut Mulyasi sambil tersenyum.
“Sri, tampan juga ya. Mas Putra itu.” Bisik Mulyasi ke Sri.
“Hus.. kamu ini.”Sahut Sri.
“Sepertinya kamu belanja pupuk ini banyak banget, Sri. Biar aku antar kamu pulang. Mau kan?” Tanya Putra yang menawarkan tumpangan terhadap Sri.
“Oh, tidak usah mas, kita bisa kok naik bus, iya kan Sih?” Ujar Sri dan menatap ke arah Mulyasi
“Ehm berat juga loh, Sri! Kan rumah kita jauh di desa sana. Apa salahnya kita menerima tawaran mas Putra.” Sahut Mulyasi
“Tuh, benar juga kata temanmu itu Sri,biar aku antar kalian pulang sampai rumah. Tenang saja aku bukan orang jahat kok Sri.” Ujar Putra
Dan Putra pun segera mengambil mobilnya di parkiran pasar. Serta mengantarkan Sri pulang. Sesampai di desa warga pun melihat ke arah mobil yang di bawa Putra dan menurunkan Sri didepan warungnya.
“Sudah cukup disini saja, mas. Itu warung si Mbah.” Ujar Sri sambil menunjuk ke arah warung
“Assalamu’alaikum!” Sapa Putra ke Mbah Kasmo dan warga yang sedang beristirahat di warungnya.
“Wa’alaikumsalam!” Jawab warga dengan serempak.
“Perkenalkan mbah saya Putra. Tadi saya bertemu Sri di Pasar kebetulan belanjaan Sri terlalu banyak jadi saya antarkan Sri dan Mulyasi pulang.” Ujar Putra sambil mengulurkan tangannya ke Mbah Kasmo dan warga lainnya.
“Oh, gitu toh. Ayo sini duduk dulu. Sri buatkan mas Putra ini minum.” Ujar Mbah Kasmo.
Sri pun datang sambil membawa segelas teh hangat beserta 5 potong pisang goreng.
Monggo mas, di minum teh nya?” Ujar Sri sambil memberikan minuman ke Putra.
“Iya, terimakasih.” Jawab Putra sambil tersenyum.
“Ngomong-ngomong, Mas Putra ini asli mana? Ko tampaknya bukan asli sini ya!” Tanya Mbah Kasmo.
“Kebetulan saya dari Jakarta Mbah, dan saya ke sini ada urusan pekerjaan ingin mensurvey lahan pertanian yang ada di kota ini.” Jawab Putra.
“Memangnya pekerjaan Mas Putra ini apa?” Tanya mbah Kasmo yang kedua kalinya.
“Kebetulan saya ini bekerja di Pemerintahan saya bekerja di Departemen Pertanian. Dan saya ada survey untuk mengetahui bibit pertanian di desa ini.” Ujar Putra.
“Oh, sampean itu orang pemerintahan toh.” Sahut Kasman.
Adzan Ashar pun berkumandang. Mbah dan warga lainnya bergegas ke surau untuk sholat ashar berjama’ah. Setelah sholat, Putra pun pamit pulang untuk menyelesaikan pekerjaannya yang lain.
“Mbah dan Sri saya pamit pulang dulu mungkin besok saya kesini lagi untuk membicarakan padi yang ada di desa ini.” Pamit Putra.
Putra pun bergegas menuju mobil Kijang berwarna hitam itu dan segera meluncur pulang.
Malam harinya, pak Kades Yoto datang bertamu ke rumah Mah Kasmo. “Assalamu’alaikum!” Sapa pak Yoto
“Wa’alaikumsalam!”Jawab Mbah sambil membuka pintu.
Pie kabare mbah?” Tanya Pak Yoto sambil mengulurkan tangannya.
“Oh pak Kades, tumben pak, malam-malam main ketempat mbah.” Tanya mbah.
“Kok si mbah tanyanya begitu. Saya kesini ingin menanyakan apa benar tadi siang orang pemerintahan datang kewarung mbah. Saya dengar dari warga yang lain. Sempat juga tadi dia sholat berjama’ah di surau. Benar itu mbah?” Tanya pak Yoto.
Sri pun keluar sambil menyuguhkan kopi hangat dan sepiring gorengan.
“Oh itu, memang benar pak, tadi siang orang itu mengantarkan Sri pulang dari pasar kota. Katanya besok pagi dia mau kesini lagi untuk menanyakan bibit pertanian di desa ini.” Ujar mbah Kasmo.
“Silahkan di minum pak?” Sahut Sri.
Pagi pun tiba, Sri pun pergi kesekolah. Seperti biasanya sebelum berangkat kesekolah Sri mengantarkan Mbah Kasmo ke warung. Di sekolah Sri belajar dengan serius jam pulang sekolahpun tiba. Sosok laki-laki berkemeja biru menunggu di depan gerbang sekolah. Sri pun tampak heran ketika temannya menghampiri dia.
“Sri, ada yang cari kamu  tuh di gerbang sekolah.” Ujar Nawi.
“Siapa Wi?” Tanya Sri dengan heran.
“Aku gak tahu, temuin aja sana.” Jawab Nawi.
Sri pun menghampiri gerbang sekolah. Dan ternyata itu Putra yang menunggu Sri pulang dari sekolah.
“Mas Putra, ada apa kemari?” Tanya Sri heran.
“Kok, Tanya seperti itu, ya jelas-jelas jemput Sri lah.” Jawab Putra.
“Ko mas tahu, Sri sekolah disini?” Tanya Sri.
“Tadi pagi mas ke warung Mbah dan sempat berbicara juga dengan pak Kades. Nah mas tanya kamu dimana, kata si mbah kamu lagi sekolah. Ya sudah akhirnya mas jemput.” Ujar Putra sambil tersenyum.
“Memangnya mas gak sibuk dengan kerjaannya?” Tanya Sri kembali.
“Kebetulan mas cuti dua minggu jadi mas gak kerja, mas ingin tanya-tanya sama Sri tentang program pertanian. Soalnya tadi mbah cerita katanya kamu itu anak yang berprestasi dan punya rencana untuk membangun desa mu semakin maju.” Ujar Putra.
“Ah mas Putra bisa saja.” Sahut Sri dengan malu.
“Ya sudah sekarang kita pulang nanti takut kesorean.” Ajak Putra.
Mereka pun segera pergi meninggalkan sekolah dan sesampai di warung ternyata warga sudah berkumpul untuk menanyakan maksud kedatangan Putra.
“Nah, yang di tunggu datang juga.” Ujar Pak Karto
“Assalamu’alaikum!” Sapa Sri dan Putra secara serempak
“Wa’alaikumsalam!” Jawab warga dengan kompak.
Mereka pun berbincang-bincang dan menemukan jalan yang tepat untuk memajukan desanya. Rencana itu pun sudah berjalan dan membuat kedekatan antara Putra dengan Sri menjadi semakin dekat. Dan cinta itu pun timbul diantara mereka seiring waktu berjalan. Perbedaan di antara mereka tidak jadi penghalang walaupun usia mereka terpaut tujuh tahun. Namun kedewasan Sri telah menaklukan hati Putra. Diam-diam Putra telah menelepon kedua orang tuanya yang ada di Jakarta dan memintaya melamarkan Sri untuknya. Namun permintaan itu di tolak oleh kedua orang tua Sri dikarenakan Sri masih terbilang muda dan masih anak Sekolah. Setahun pun berlalu kini Sri sudah lulus dari sekolah dan telah bekerja di kantor desa. Selama itulah Sri dapat memenuhi kesejahteraan warga dengan kreatifitas yang dia miliki. Dan mendapat penghargaan dari pemerintahan desa nya.
“Alhamdulillah ya Mbah, Sri sudah bekerja. Akhirnya juga si mbah gak perlu buka warung lagi.”
“Tapikan mbah bosen kalo di rumah terus.” Ujar Mbah
“Mbah kan sakit-sakitan terus, jadi mbah harus banyak istirahat.” Sahut Sri.
Malam pun telah berganti pagi, ketika Sri hendak pergi bekerja. Mobil bernomorkan Jakarta parkir di depan rumah Sri. Sri pun terheran dan terkejut ketika Putra keluar dari mobilnya dan di ikuti kedua orang tuanya.
“Sri, apa kabar?” Sapa Putra sambil tersenyum.
“Mas Putra … ko mas …” Ujar Sri yang kaget dan pembicaraannya terpotong oleh Mbah.
“Siapa Sri? Kok gak di ajak masuk” Tanya Mbah.
“Mbah apa kabar?” Tanya Putra sambil mencium tangan Mbah Kasmo.
“Mas Putra toh, Alhamdulillah Baik. Sampean kemana saja selama setahun ini? Sudah melupakan mbah ya!” Sahut Mbah Kasmo.
“Tidak mbah, kebetulan saya ada dinas ke luar negeri baru kemarin saya tiba di Jakarta. Dan saya terbayang wajah Sri terus. Akhirnya saya ajak keluarga saya ke sini mbah. Perkenalkan ini ibu dan bapak saya.” Ujar Putra.
“Saya Hera mbah, ibunya Putra.” Sapa Ibu Hera sambil berjabat tangan
“Saya Muji mbah, ayahnya Putra.” Sapa Bapak Muji sambil berjabat tangan.
“Bu, Yah, ini Sri yang pernah aku ceritakan kepada kalian.” Ujar Putra yang memperkenalkan Sri.
“Cantik sekali Sri ini, pantas Putra ingin cepat-cepat melamar kamu, nak.” Puji Ibu Hera.
Akhirnya mereka membincangkan maksud kedatangan mereka ke rumah Sri. Dan akhirnya Putra pun melamar Sri dan ingin melangsungkan pernikahan secepatnya. Warga di sekitar rumah Sri pun bahagia ketika Sri hendak di lamar. Kasman yang sejak Sri sekolah menyimpan hati padanya menjadi sedih dan mengikhlaskan Sri untuk menjadi istri orang lain tanpa adanya dendam. Sri pun akhrinya menikah dengan Putra dan hidup bahagia bersama Putra. Kasman pun memutuskan untuk menjadi TKI ke Arab Saudi dan menemukan dambaan hatinya disana. Kasman pun menikah dengan gadis Arab anak teman majikannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar