Sri,
Anak Pintar!
Karya
: Lita Jumara, S.Pd.
“Sudah terasa tua bumi kita
ini mbah. Panas pun sepertinya tak menghiraukan kita lagi. Banyak pemimpin kita
ini mencanangkan gerakan anti pemanasan global. Toh buktinya bumi kita semakin panas.” Ujar Kasman
yang sedang minum kopi dan makan gorengan di warung mbah Kasmo.
“Iya Man, aku sudah
merasakannya sudah 65 tahun lamanya. Tapi di tahun ini benar-benar panas tenan. Alah pemerintah di percoyo wis ora usah dipercoyo bahasane. Banyak
yang umbar janji. Zaman ini memang sudah tua, mau kita benah apapun tidak akan
bisa kembali kesemula.” Sahut
Mbah Kasmo
dengan logak Jawanya yang kental sambil menuangkan air di termos kedalam gelas
yang sudah terisi kopi bubuk.
Tiba-tiba datang Sri dari
pasar menghampiri obrolan mereka berdua. “Waduh, ko rame tenan yo, ada apa toh mbah? Ko serius banget obrolannya dengan mas
Kasman.” Sahut Sri yang sambil masuk dan membawa belanjanya kedalam warung.
“Eh, Dek Sri baru pulang dari
pasar, yo! Ndak dek, mas karo mbah mu iki, lagi bahas cuaca hari ini panas banget.”
Ujar Kasman sambil tersenyum.
“Iya, Sri, mbah sudah
tua untuk merasakan panasnya cuaca ini.” Sahut Mbah
Kasmo
“Loh, mbah cuaca
seperti ini memang sudah ditakdirkan Allah. Kita yang sebagai umatnya mesti
jaga bumi kita ojo di rusak. Misale,
iki si mbah jangan buang plastik bekas di sembarang tempat, kita harus
menguburnya dan mas Kasman jangan tebang pohon sembarangan Sri sering lihat mas
di hutan dekat lereng gunung tebang pohon sampai-sampai gak dipilih dulu pohon
yang sudah tua dan yang masih muda.” Ujar Sri sambil menasehati.
Kasman dan Mbah Kasmo
pun jadi tersipu malu akibat di bicarakan seperti itu oleh Sri. “Jangan gitu
dong Dek Sri, mas kan
jadi malu. Toh buktinya mas ndak
merusak hutan secara berlebihan.” Sanggah Kasman
sambil malu-malu.
“Ya memang gak
berlebihan tapi ada akibatnya di kemudian hari, contohnya longsor, banjir dan
sekarang panas.” Ujar Sri sambil
memotong sayuran yang dia beli dipasar.
“Sudah-sudah jangan
ribut, benar katamu Sri, bumi ini panas gara-gara kita juga. Kita memang harus
menjaganya agar tidak semakin parah lagi.” Ujar Mbah
Kasmo yang melerai.
Dimalam harinya Sri
dan mbah Kasmo menemui Kepala
Desa untuk membahas pesta rakyat
yang seminggu lagi akan terlaksanakan. Di Kantor
Desa sudah banyak kumpul warga
yang menunggu kesepakatan dari warga yang lainnya. “ Bagaimana bapak-bapak dan
ibu-ibu setuju dengan usulan saya pesta rakyat ini akan dilakukan 3 hari 3
malam mengingat kita sudah panen dengan hasil yang memuaskan?” Tanya pak Yoto terhadap warganya. Ketika sedang
menyampaikan pendapatnya. Tiba-tiba pak Karto menyela pembicaraan Pak Kades
Yoto.
“Maaf pak, saya
intrupsi. Saya kurang setuju jika pesta rakyat ini dilakukan selama itu,dan itu
hanya membuang uang-uang saja. Bagaimana kita lakukan pesta rakyat itu dengan
pengajian untuk ucap syukur kita terhadap Gusti Allah.” Ujar pak Karto sambil
berdiri
“Saya setuju dengan
ucapan pak Karto, di bumi kita yang semakin tua ini dan banyak bencana di
wilayah-wilayah di Indonesia kita harusnya
mensyukurinya dengan mengadakan pengajian, toh
selama ini surau kita terlihat sepi warganya pun masih kurang tanggap untuk
mengisi Surau kita dengan kegiatan yang religi.” Tambah
Sri dengan tegas.
“Alah kamu itu masih
kecil Sri, gak usah ikut campur dengan pembicaraan ini” Ujar Pak Parmin dengan tegas.
“Walaupun Sri masih
remaja, pak. Tapi Sri juga masih warga desa ini dan berhak memberikan pendapat
untuk kelangsungan desa ini. Apakah yang muda tidak boleh memberikan
pendapatnya? Sedangkan yang sudah tua tidak bisa menjadi contoh yang baik bagi
yang muda.” Ujar Sri dengan
lantang
Pembicaraan pun
semakin panas, Pak
Kades pun meleraikan obrolan
mereka.
“Sudah-sudah tidak
usah ribut lebih baik kita ambil voting
dari warga semuanya. Sehingga kita dapat menemukan jalan yang baik untuk
kelangsungan acara minggu depan.” Sahut Pak
Yoto yang meleraikan mereka
berdua.
Warga pun tercengang
atas ucapan Sri yang mungkin mengetuk pintu hati mereka yang hanya mementingkan
duniawi saja. Namun amalan untuk ke akhirat nanti tidak diperdulikan. Akhirnya
kesepakatan itu pun ditemukan titik terangnya. Banyak warga yang setuju atas
pendapat pak Karto dan Sri. Sri pun senang pendapatnya didengar oleh warga yang
lain. Sesampainya di
Rumah, Mbah
Kasmo menegur Sri atas pendapatnya
ketika diKantor Desa tadi.
“Sri, kamu itu gak
usah berbicara seperti itu terhadap yang tua. Itu tindakan yang tidak baik ndok.” Ujar mbah Kasmo.
“Bukanya gitu mbah, Sri itu hanya
menyampaikan pendapat Sri dan Sri sering lihat berita di televisi banyak di
daerah-daerah yang kekurangan maupun terkena bencana. Sedangkan di Desa
kita sudah Alhamdulillah mendapatkan banyak limpahan panen. Jadi kita harus
bersyukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah.” Sahut Sri.
Mbah Kasmo pun terdiam untuk
sejenak dan berpikir betapa dia sangat beruntung mendapatkan cucu seperti Sri.
“Mbah, mbah kenapa toh?” Tanya
Sri sambil mengusap pundak Mbah Kasmo.
“Ndak …ndak apa-apa kok. Sudah mbah masuk dulu ke kamar wis
ngantuk aku.” Sahut mbah Kasmo.
Keesokan pagi nya di
sekolah. Sri menjadi
bahan pembicaraannya teman-temannya di sekolah. Sri seorang
siswi kelas tiga di Sekolah
Menengah Kejuruan
Negeri dan ia siswi terpintar di
Sekolahnya karena telah menciptakan karya-karya inovatif yang berhubungan
dengan pertanian. Di sekolahnya siswi
terkenal pandai berdiskusi dengan guru sehingga Sri mendapatkan beasiswa dari
sekolahnya.
“Sri, semalam kata
Dewi kamu katanya debat dengan ayahnya ya!” Tanya Mulyasi
yang datang menghampiri bangku duduk Sri.
“Iya, tapi gak debat kok, cuma saja aku hanya mengutarakan
pendapatku. Apa lagi di Desaku akan ada pesta rakyat, jadi untuk itu buat apa
kita menghamburkan uang banyak toh
lebih baik kita mengadakan pengajian di surau dan uangnya bisa mereka tabung
untuk kedepannya.” Sahut Sri.
“Hebat kamu Sri,
masih muda tapi pintar memberikan pendapat dan menjalankanya di kehidupan nyata
seperti ini. Bangga aku sama mu.” Ujar Mulyasi
yang membanggakan Sri.
“Bisa saja kamu ini,
oh ya Sih, besok antarkan aku ke kota
yo!” Pinta Sri.
“Ke kota? Memangnya mau ngapain kita kesana,
Sri?” Tanya Mulyasi.
“Aku mau cari bahan
pupuk untuk sawah ku dan aku mau mencoba mencari bahan agar padi-padi itu
tumbuh dengan subur dan menghasilkan banyak bibit.” Jawab Sri.
“Pintar banget kamu,
Sri. Iyo pasti ku anter sampean.”Ujar Mulyasi.
Dikota pun Sri menemukan banyak
bahan pupuk untuk sawahnya. Tidak sengaja Sri, menabrak laki-laki kota yang sedang membayar
belanjaanya.
“Aduh mas, aku minta
maaf ya! Benar aku tidak sengaja!” Pinta Sri
“Oh iya tidak
apa-apa, perkenalkan namaku Putra
Mahesa. Nama mu siapa?” Tanya Putra
sambil mengulurkan tangannya ke Sri.
“Namaku Sri Yanti mas dan
temanku ini Mulyasi.” Jawab Sri dan menerima jabatan tangan Putra.
“Namaku Mulyasi
mas.” Sahut Mulyasi sambil tersenyum.
“Sri, tampan juga ya.
Mas Putra itu.” Bisik
Mulyasi ke Sri.
“Hus..
kamu ini.”Sahut Sri.
“Sepertinya kamu
belanja pupuk ini banyak banget, Sri. Biar aku antar kamu pulang. Mau kan?” Tanya Putra
yang menawarkan tumpangan terhadap Sri.
“Oh, tidak usah mas,
kita bisa kok naik bus, iya kan
Sih?” Ujar Sri dan menatap ke arah Mulyasi
“Ehm berat juga loh,
Sri! Kan rumah kita jauh di desa sana. Apa salahnya kita
menerima tawaran mas Putra.” Sahut
Mulyasi
“Tuh, benar juga kata
temanmu itu Sri,biar aku antar kalian pulang sampai rumah. Tenang saja aku
bukan orang jahat kok Sri.” Ujar Putra
Dan Putra pun segera mengambil
mobilnya di parkiran pasar. Serta mengantarkan Sri pulang. Sesampai di desa
warga pun melihat ke arah mobil yang di bawa Putra dan menurunkan Sri didepan
warungnya.
“Sudah cukup disini
saja, mas. Itu warung si Mbah.” Ujar Sri sambil menunjuk ke arah warung
“Assalamu’alaikum!”
Sapa Putra
ke Mbah Kasmo dan warga yang sedang beristirahat
di warungnya.
“Wa’alaikumsalam!”
Jawab warga dengan serempak.
“Perkenalkan mbah
saya Putra. Tadi saya bertemu Sri di
Pasar kebetulan belanjaan Sri terlalu banyak jadi
saya antarkan Sri dan Mulyasi pulang.” Ujar
Putra sambil mengulurkan tangannya ke Mbah Kasmo
dan warga lainnya.
“Oh, gitu toh. Ayo
sini duduk dulu. Sri buatkan
mas Putra ini minum.” Ujar
Mbah Kasmo.
Sri pun datang sambil
membawa segelas teh hangat beserta 5 potong pisang goreng.
“Monggo mas, di minum teh nya?” Ujar Sri sambil memberikan minuman ke Putra.
“Iya, terimakasih.” Jawab Putra
sambil tersenyum.
“Ngomong-ngomong, Mas
Putra ini asli mana? Ko tampaknya bukan asli sini ya!” Tanya Mbah
Kasmo.
“Kebetulan saya dari
Jakarta Mbah, dan saya ke sini ada urusan pekerjaan ingin mensurvey lahan pertanian yang ada di kota ini.” Jawab Putra.
“Memangnya pekerjaan
Mas Putra ini apa?” Tanya mbah Kasmo
yang kedua kalinya.
“Kebetulan saya ini
bekerja di Pemerintahan saya bekerja di Departemen Pertanian.
Dan saya ada survey untuk mengetahui bibit pertanian di desa ini.” Ujar Putra.
“Oh, sampean itu orang pemerintahan toh.” Sahut Kasman.
Adzan Ashar pun berkumandang.
Mbah dan warga lainnya bergegas ke surau untuk sholat ashar berjama’ah. Setelah
sholat, Putra pun pamit pulang untuk menyelesaikan pekerjaannya yang lain.
“Mbah dan Sri saya
pamit pulang dulu mungkin besok saya kesini lagi untuk membicarakan padi yang
ada di desa ini.” Pamit
Putra.
Putra pun bergegas
menuju mobil Kijang berwarna hitam itu dan segera meluncur pulang.
Malam harinya, pak
Kades Yoto datang bertamu ke rumah Mah Kasmo.
“Assalamu’alaikum!” Sapa pak Yoto
“Wa’alaikumsalam!”Jawab Mbah
sambil membuka pintu.
“Pie kabare mbah?” Tanya
Pak Yoto
sambil mengulurkan tangannya.
“Oh pak Kades, tumben
pak, malam-malam main ketempat mbah.” Tanya
mbah.
“Kok si mbah tanyanya
begitu. Saya kesini ingin menanyakan apa benar tadi siang orang pemerintahan
datang kewarung mbah. Saya dengar dari warga yang lain. Sempat juga tadi dia
sholat berjama’ah di surau. Benar itu mbah?” Tanya
pak Yoto.
Sri pun keluar sambil
menyuguhkan kopi hangat dan sepiring gorengan.
“Oh itu, memang benar
pak, tadi siang orang itu mengantarkan Sri pulang dari pasar kota. Katanya besok pagi dia mau kesini lagi
untuk menanyakan bibit pertanian di desa ini.” Ujar mbah Kasmo.
“Silahkan di minum
pak?” Sahut Sri.
Pagi pun tiba, Sri
pun pergi kesekolah. Seperti biasanya sebelum berangkat kesekolah Sri
mengantarkan Mbah
Kasmo ke warung. Di sekolah Sri belajar dengan serius jam pulang
sekolahpun tiba. Sosok laki-laki berkemeja biru menunggu di depan gerbang
sekolah. Sri pun tampak heran ketika temannya menghampiri dia.
“Sri, ada yang cari
kamu tuh di gerbang sekolah.” Ujar Nawi.
“Siapa Wi?” Tanya Sri
dengan heran.
“Aku gak tahu, temuin
aja sana.” Jawab Nawi.
Sri pun menghampiri
gerbang sekolah. Dan ternyata itu
Putra yang menunggu Sri pulang dari sekolah.
“Mas Putra, ada apa
kemari?” Tanya
Sri heran.
“Kok, Tanya seperti itu, ya jelas-jelas jemput Sri lah.” Jawab Putra.
“Ko mas tahu, Sri sekolah disini?” Tanya Sri.
“Tadi pagi mas ke
warung Mbah dan sempat berbicara juga dengan pak Kades. Nah mas tanya kamu dimana, kata si mbah kamu lagi sekolah. Ya
sudah akhirnya mas jemput.” Ujar
Putra sambil tersenyum.
“Memangnya mas gak
sibuk dengan kerjaannya?” Tanya
Sri kembali.
“Kebetulan mas cuti
dua minggu jadi mas gak kerja, mas ingin tanya-tanya
sama Sri tentang program pertanian. Soalnya tadi mbah cerita katanya kamu itu
anak yang berprestasi dan punya rencana untuk membangun desa mu semakin maju.” Ujar Putra.
“Ah mas Putra bisa
saja.” Sahut Sri dengan
malu.
“Ya sudah sekarang
kita pulang nanti takut kesorean.” Ajak Putra.
Mereka pun segera
pergi meninggalkan sekolah dan sesampai di warung ternyata warga sudah
berkumpul untuk menanyakan maksud kedatangan Putra.
“Nah, yang di tunggu
datang juga.” Ujar
Pak Karto
“Assalamu’alaikum!”
Sapa Sri dan Putra secara serempak
“Wa’alaikumsalam!”
Jawab warga dengan kompak.
Mereka pun
berbincang-bincang dan menemukan jalan yang tepat untuk memajukan desanya.
Rencana itu pun sudah berjalan dan membuat kedekatan antara Putra dengan Sri
menjadi semakin dekat. Dan cinta itu
pun timbul diantara mereka seiring waktu berjalan. Perbedaan di antara mereka
tidak jadi penghalang walaupun usia mereka terpaut tujuh tahun. Namun kedewasan
Sri telah menaklukan hati Putra. Diam-diam Putra telah menelepon kedua orang
tuanya yang ada di Jakarta
dan memintaya melamarkan Sri untuknya. Namun permintaan itu di tolak oleh kedua
orang tua Sri dikarenakan Sri masih terbilang muda dan masih anak Sekolah.
Setahun pun berlalu kini Sri sudah lulus dari sekolah dan telah bekerja di kantor desa. Selama itulah Sri dapat memenuhi
kesejahteraan warga dengan kreatifitas yang dia miliki. Dan
mendapat penghargaan dari pemerintahan desa nya.
“Alhamdulillah ya
Mbah, Sri sudah
bekerja. Akhirnya juga si mbah gak perlu buka warung lagi.”
“Tapikan mbah bosen
kalo di rumah terus.” Ujar
Mbah
“Mbah kan sakit-sakitan terus,
jadi mbah harus banyak istirahat.” Sahut Sri.
Malam pun telah
berganti pagi, ketika Sri hendak pergi bekerja. Mobil bernomorkan Jakarta parkir di depan
rumah Sri. Sri pun terheran dan terkejut ketika Putra keluar dari mobilnya dan
di ikuti kedua orang tuanya.
“Sri, apa kabar?” Sapa Putra
sambil tersenyum.
“Mas Putra … ko mas
…” Ujar Sri yang kaget dan pembicaraannya terpotong oleh Mbah.
“Siapa Sri? Kok gak
di ajak masuk” Tanya
Mbah.
“Mbah apa kabar?” Tanya Putra sambil mencium
tangan Mbah Kasmo.
“Mas Putra toh, Alhamdulillah Baik.
Sampean kemana saja selama setahun ini? Sudah melupakan mbah ya!” Sahut Mbah
Kasmo.
“Tidak mbah,
kebetulan saya ada dinas ke luar
negeri baru kemarin saya tiba di Jakarta.
Dan saya terbayang wajah Sri terus.
Akhirnya saya ajak keluarga saya ke sini mbah. Perkenalkan ini ibu dan bapak
saya.” Ujar Putra.
“Saya Hera
mbah, ibunya Putra.” Sapa
Ibu Hera
sambil berjabat tangan
“Saya Muji
mbah, ayahnya Putra.” Sapa
Bapak Muji
sambil berjabat tangan.
“Bu, Yah, ini Sri
yang pernah aku ceritakan kepada kalian.” Ujar Putra
yang memperkenalkan Sri.
“Cantik sekali Sri
ini, pantas Putra ingin cepat-cepat melamar kamu, nak.” Puji Ibu Hera.
Akhirnya mereka
membincangkan maksud kedatangan mereka ke rumah Sri. Dan
akhirnya Putra pun melamar Sri dan ingin melangsungkan pernikahan secepatnya.
Warga di sekitar rumah Sri pun bahagia ketika Sri hendak di lamar.
Kasman yang sejak Sri sekolah menyimpan hati padanya menjadi sedih dan
mengikhlaskan Sri untuk menjadi istri orang lain tanpa adanya dendam. Sri pun
akhrinya menikah dengan Putra dan hidup bahagia bersama Putra. Kasman pun
memutuskan untuk menjadi TKI ke Arab Saudi dan menemukan dambaan hatinya
disana. Kasman pun menikah dengan gadis Arab anak teman majikannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar